10 Fakta Unik tentang Orang Tiongkok yang Jarang Diketahui

Diposting pada

Tahukah kamu bahwa orang Tiongkok lebih memilih air hangat daripada air dingin, bahkan di tengah musim panas? Atau bahwa mereka memiliki sistem kredit sosial seperti skor perilaku digital yang bisa memengaruhi masa depan seseorang? Inilah sebagian kecil dari puluhan fakta unik yang membentuk kehidupan sehari-hari masyarakat Tiongkok. Artikel ini akan membongkar 50 fakta mengejutkan yang jarang diketahui publik—baik soal budaya, kebiasaan makan, sistem pendidikan, hingga kepercayaan spiritual mereka.

Mengapa Orang Indonesia Penasaran dengan Budaya Tiongkok?

Pencarian tentang “kebiasaan orang Tiongkok”, “budaya unik Tiongkok”, dan “fakta mengejutkan orang China” menunjukkan tingginya rasa ingin tahu masyarakat Indonesia. Hal ini bisa disebabkan oleh pengaruh kuat budaya Tionghoa di Indonesia serta meningkatnya peran global Tiongkok di bidang teknologi, ekonomi, dan pendidikan.

Dengan memahami kebiasaan unik ini, kita tidak hanya membuka wawasan, tetapi juga meningkatkan toleransi dan pengertian lintas budaya.

10 Fakta Unik tentang Orang Tiongkok

1. Nama Keluarga Diutamakan

Salah satu ciri paling mencolok dari budaya penamaan di Tiongkok adalah penempatan nama keluarga di depan nama pribadi. Ini bukan sekadar kebiasaan linguistik, tapi mencerminkan filosofi mendalam yang mengakar kuat dalam pandangan hidup masyarakat Tiongkok selama ribuan tahun. Dalam filsafat Konfusianisme, individu tidak berdiri sendiri sebagai entitas bebas, tetapi merupakan bagian dari sebuah jaringan relasi sosial yang kompleks—terutama dalam keluarga.

Nama keluarga, atau “xìng” (姓), melambangkan warisan, leluhur, dan identitas kolektif. Sedangkan nama pribadi, atau “míng” (名), lebih mencerminkan harapan atau karakteristik individu tersebut. Jadi ketika seorang anak lahir, pemberian nama biasanya dimulai dari nama keluarga terlebih dahulu, sebagai penghormatan pada garis keturunan.

Bagi masyarakat Barat yang terbiasa dengan penamaan individual di awal, kebiasaan ini bisa terasa membingungkan. Namun di Tiongkok, kebanggaan terhadap marga sangat tinggi. Bahkan, dalam banyak kasus, sejarah dan reputasi sebuah keluarga bisa membuka atau menutup peluang seseorang dalam pendidikan, pekerjaan, hingga perjodohan.

Sebagai contoh, tokoh revolusioner terkenal Mao Zedong, memiliki nama keluarga “Mao” dan nama pribadi “Zedong”. Ketika orang menyebut “Mao”, yang dimaksud bukan hanya individu itu, tetapi juga warisan nilai dan sejarah keluarganya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya identitas kolektif dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tiongkok.

2. Takut Angka Empat

Angka empat dianggap sangat sial dalam budaya Tiongkok. Ini bukan karena angka tersebut memiliki makna negatif secara inheren, tetapi karena pelafalannya dalam bahasa Mandarin—“sì” (四)—sangat mirip dengan kata “sǐ” (死) yang berarti kematian. Homofon inilah yang menyebabkan angka empat dihindari dalam banyak aspek kehidupan.

Contohnya, di banyak gedung perkantoran, rumah sakit, atau apartemen di kota-kota besar seperti Beijing atau Shanghai, Anda tidak akan menemukan lantai empat. Alih-alih melompat dari lantai tiga ke lima, beberapa gedung bahkan menyiasatinya dengan menamai lantai empat sebagai “3A”. Hal ini serupa dengan cara beberapa negara Barat menghindari angka 13.

Ketakutan terhadap angka empat juga memengaruhi hal-hal yang lebih pribadi, seperti nomor rumah, nomor kamar hotel, nomor telepon, atau pelat kendaraan. Banyak orang bersedia membayar lebih mahal untuk menghindari kehadiran angka empat dalam aspek-aspek tersebut. Bahkan dalam dunia bisnis, angka ini dianggap tidak membawa keberuntungan, dan bisa memberikan kesan negatif kepada konsumen.

Yang menarik, ini bukan hanya berlaku dalam budaya Han Tiongkok, tapi juga merembet ke negara-negara dengan pengaruh budaya Tionghoa yang kuat seperti Jepang (shi) dan Korea (sa), yang juga memiliki kata-kata untuk angka empat yang terdengar mirip dengan kata “mati”.

Dengan kata lain, angka empat bukan sekadar angka, melainkan simbol dari nasib buruk, ketidakberuntungan, dan kematian. Dalam masyarakat yang masih memegang nilai-nilai simbolik dan spiritual dengan kuat, simbol semacam ini bisa memengaruhi keputusan besar dalam hidup.

3. Angka Delapan Bawa Hoki

Berbanding terbalik dengan angka empat, angka delapan dianggap sebagai angka keberuntungan tertinggi dalam budaya Tionghoa. Hal ini berkaitan dengan pelafalannya yang dalam bahasa Mandarin disebut “bā” (八)—sangat mirip dengan kata “fā” (发) yang berarti “kekayaan” atau “kemakmuran”. Karena alasan fonetik ini, angka delapan diasosiasikan dengan nasib baik, rezeki berlimpah, dan kesuksesan finansial.

Tidak mengherankan jika banyak orang Tiongkok berlomba-lomba untuk mendapatkan nomor rumah, nomor telepon, nomor plat kendaraan, hingga jadwal acara penting yang mengandung angka delapan. Bahkan, angka delapan dianggap begitu sakral dan penting sampai-sampai Olimpiade Beijing pada tahun 2008 dibuka tepat pada tanggal 8 bulan 8 tahun 2008, pukul 8 malam lewat 8 menit dan 8 detik. Semua itu dirancang dengan sangat teliti demi membawa keberuntungan dan memperkuat simbol kemakmuran bangsa.

Bahkan dalam transaksi properti atau bisnis, angka delapan bisa menaikkan harga jual suatu unit. Sebuah apartemen dengan nomor 88 atau yang berada di lantai delapan bisa memiliki harga lebih tinggi dibanding unit serupa di lantai lain. Demikian pula dalam pernikahan, ulang tahun, atau pembukaan usaha baru, masyarakat sering memilih tanggal-tanggal yang mengandung angka delapan.

Fenomena ini menggambarkan bagaimana kepercayaan terhadap simbol dan bunyi dapat membentuk perilaku sosial dan ekonomi masyarakat. Bagi masyarakat Tionghoa, angka bukan sekadar alat hitung, tetapi juga representasi dari harapan, energi spiritual, dan peluang hidup yang lebih baik.

4. Minum Air Hangat

Salah satu kebiasaan yang sering membuat heran para wisatawan asing yang berkunjung ke Tiongkok adalah kebiasaan orang Tiongkok minum air hangat—bahkan saat cuaca panas terik sekalipun. Di restoran, rumah tangga, bahkan kantor pemerintahan, air minum yang disajikan hampir selalu dalam keadaan hangat, atau bahkan panas. Bukan karena mereka tidak punya akses ke air dingin, melainkan karena kebiasaan ini berakar dalam filosofi kesehatan tradisional Tiongkok.

Menurut pengobatan tradisional Tiongkok (TCM – Traditional Chinese Medicine), tubuh manusia perlu dijaga keseimbangan energinya. Air dingin dianggap dapat mengganggu aliran energi, memperlambat metabolisme, dan melemahkan sistem pencernaan, terutama limpa dan lambung yang berperan penting dalam mencerna makanan. Minum air hangat dipercaya membantu memperlancar aliran darah, menghilangkan racun dalam tubuh, dan menjaga “Qi”—energi vital tubuh—agar tetap seimbang.

Kebiasaan ini juga terkait dengan kebersihan. Di masa lalu, air yang tidak direbus bisa mengandung banyak bakteri berbahaya. Maka, merebus air dan meminumnya dalam keadaan panas atau hangat menjadi standar keamanan dasar yang diwariskan turun-temurun.

Bahkan hingga kini, banyak orang tua di Tiongkok melarang anak-anaknya minum air dingin, apalagi es. Mereka percaya bahwa itu bisa menyebabkan gangguan kesehatan seperti pilek, menstruasi tidak lancar, hingga nyeri perut. Meskipun pandangan ini terkadang dianggap tidak ilmiah oleh dunia medis Barat, kebiasaan ini tetap menjadi bagian dari identitas budaya dan gaya hidup sehat masyarakat Tiongkok.

5. Makanan Ekstrem

Jika kita menyebut kata “kuliner Tiongkok”, banyak orang mungkin membayangkan dumpling, bebek Peking, atau hot pot. Namun di luar makanan populer tersebut, Tiongkok memiliki beragam kuliner ekstrem yang membuat geleng kepala—terutama bagi mereka yang belum terbiasa. Di beberapa wilayah, makanan seperti telur yang direndam dalam urin anak laki-laki, otak babi, ular hidup, bahkan tikus panggang, dianggap sebagai makanan lezat atau memiliki khasiat tertentu.

Ambil contoh telur urin, yang dalam bahasa Mandarin disebut “tong zi dan”—secara harfiah berarti “telur anak laki-laki”. Telur ini direbus dengan air kencing anak laki-laki di bawah usia 10 tahun. Konon, makanan ini berasal dari kota Dongyang, dan dipercaya mampu menyegarkan tubuh, menyeimbangkan energi, serta meningkatkan daya tahan tubuh.

Sementara itu, otak babi sering digunakan dalam sup dan dianggap memiliki nilai gizi tinggi, terutama untuk kecerdasan otak. Meskipun banyak yang merasa jijik, di beberapa daerah seperti Sichuan dan Hunan, makanan ini justru dijadikan sajian istimewa dalam perjamuan keluarga.

Kebiasaan makan ekstrem ini bukan semata karena selera eksotis, tetapi juga berasal dari warisan masa kelaparan panjang, ketika masyarakat harus memanfaatkan semua bagian hewan untuk bertahan hidup. Seiring waktu, kebiasaan tersebut menjadi bagian dari identitas kuliner lokal. Dalam budaya Tiongkok, tidak ada bagian dari hewan yang dianggap “tak layak dimakan”.

Namun, tak semua masyarakat Tiongkok menyukai atau setuju dengan kuliner ekstrem ini. Di era modern, muncul perdebatan antara nilai tradisional dan standar etika global. Meski begitu, makanan ekstrem tetap menjadi salah satu sisi menarik dan unik dari kompleksitas budaya kuliner Tiongkok.

6. Ujian Gaokao Sangat Ketat

Ujian Gaokao adalah salah satu sistem seleksi masuk perguruan tinggi paling ketat di dunia. Nama lengkapnya adalah “Gāo Kǎo” (高考), yang berarti “ujian masuk perguruan tinggi”. Ujian ini bukan sekadar tes akademik, tapi juga dianggap sebagai ujian hidup yang dapat menentukan masa depan seseorang secara drastis.

Setiap tahunnya, lebih dari 10 juta siswa di seluruh Tiongkok mengikuti ujian ini dengan persaingan yang luar biasa. Materi yang diujikan mencakup Matematika, Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris, dan pilihan antara sains atau humaniora. Namun, tekanan sesungguhnya bukan hanya dari materi, melainkan dari ekspektasi keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Persiapan Gaokao sering dimulai sejak dini. Para siswa menjalani jadwal belajar yang ketat, bahkan bisa mencapai 12–14 jam per hari. Banyak sekolah memberlakukan sistem belajar intensif yang nyaris tanpa waktu santai. Para orang tua pun rela mengorbankan segala hal demi memberi dukungan, termasuk pindah rumah agar dekat dengan sekolah terbaik, atau menyewa guru privat.

Mengapa Gaokao begitu penting? Karena sistem pendidikan di Tiongkok sangat kompetitif, dan hanya sedikit kursi tersedia di universitas top seperti Tsinghua atau Peking University. Lulus dengan nilai tinggi di Gaokao dapat membuka akses ke pendidikan elit, peluang karier yang lebih luas, dan bahkan status sosial yang lebih tinggi.

Namun, sistem ini juga menuai kritik. Banyak yang menilai Gaokao menciptakan tekanan mental yang luar biasa, bahkan menyebabkan depresi atau kecemasan berat di kalangan remaja. Terlepas dari itu, Gaokao tetap menjadi simbol perjuangan, kedisiplinan, dan mobilitas sosial di Tiongkok modern.

7. Anak Tunggal Dimanjakan

Selama lebih dari tiga dekade, Tiongkok menerapkan kebijakan satu anak sebagai upaya menekan laju pertumbuhan penduduk. Kebijakan ini, yang dimulai pada akhir 1970-an dan baru dilonggarkan pada 2015, menciptakan generasi anak tunggal yang sangat khas—sering disebut sebagai “Little Emperors” atau kaisar kecil.

Sebagai satu-satunya anak dalam keluarga, seorang anak akan mendapatkan seluruh perhatian, kasih sayang, dan harapan dari orang tua dan bahkan kakek-neneknya. Dalam keluarga Tiongkok tradisional, di mana ada struktur “4-2-1” (empat kakek-nenek, dua orang tua, satu anak), seorang anak tunggal sering kali menerima dukungan dan tekanan dari enam orang dewasa sekaligus.

Akibatnya, banyak anak tumbuh dengan akses pendidikan terbaik, mainan terbaik, makanan terbaik—tetapi juga beban ekspektasi yang sangat tinggi. Mereka didorong untuk sukses dalam akademik, membawa nama baik keluarga, dan menjadi tumpuan masa depan orang tuanya saat tua nanti.

Namun, fenomena ini menimbulkan dilema. Banyak anak tunggal tumbuh dengan kecenderungan individualistik, kurang mampu beradaptasi sosial, dan memiliki tingkat stres tinggi. Pemerintah Tiongkok pun mulai menyadari dampak jangka panjang dari kebijakan ini, terutama terkait dengan penuaan populasi dan ketidakseimbangan gender.

Kini, meski kebijakan satu anak telah dihapus, dampaknya masih terasa. Generasi “Little Emperors” menjadi simbol dari transisi sosial Tiongkok—antara tradisi keluarga besar dan tuntutan modernitas yang mengutamakan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.

8. WeChat untuk Segalanya

Jika di luar negeri orang menggunakan WhatsApp, Instagram, dan PayPal secara terpisah, di Tiongkok cukup dengan satu aplikasi: WeChat. Dikenal dalam bahasa Mandarin sebagai “Wēixìn” (微信), aplikasi ini tidak hanya menjadi platform chatting, tapi telah berkembang menjadi ekosistem digital super lengkap yang menyentuh hampir semua aspek kehidupan.

Dengan WeChat, Anda bisa mengirim pesan, melakukan panggilan video, membayar tagihan listrik, memesan makanan, membeli tiket kereta, menyumbang amal, mendaftar rumah sakit, hingga…mengurus perceraian! Bahkan banyak tempat tidak lagi menerima uang tunai—Anda harus memiliki akun WeChat Pay atau Alipay untuk melakukan transaksi.

Aplikasi ini juga terintegrasi dengan fitur mini-program, di mana pengguna bisa mengakses layanan pihak ketiga tanpa harus keluar dari aplikasi. Hal ini menjadikan WeChat bukan sekadar aplikasi, tetapi platform digital utama dalam kehidupan masyarakat Tiongkok.

Bagi banyak warga, hidup tanpa WeChat hampir mustahil. Semua aktivitas digital dikonsolidasikan di satu tempat, membuatnya sangat efisien namun sekaligus memberi kekuasaan besar kepada penyedia layanan dan pemerintah dalam mengelola data pribadi.

9. Sistem Kredit Sosial

Tiongkok sedang mengembangkan sistem kredit sosial—sebuah sistem penilaian terhadap perilaku warga berdasarkan data aktivitas mereka, baik online maupun offline. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang lebih tertib, jujur, dan patuh hukum. Namun, sistem ini juga memicu kontroversi global karena menyentuh aspek kebebasan dan privasi.

Dalam sistem ini, seseorang bisa mendapat skor tinggi jika membayar tagihan tepat waktu, merawat orang tua, tidak menyebar hoaks, dan berperilaku sopan. Sebaliknya, mereka bisa mendapat skor rendah jika melanggar lalu lintas, membuat komentar negatif di media sosial, atau gagal membayar utang.

Skor ini kemudian bisa memengaruhi banyak hal: akses terhadap pinjaman bank, tiket pesawat, sekolah untuk anak, hingga peluang kerja. Di beberapa kota, mereka yang memiliki skor rendah bahkan bisa dibatasi aksesnya ke transportasi umum atau dicantumkan dalam daftar hitam publik.

Meski sistem ini masih bersifat eksperimental dan belum sepenuhnya diterapkan secara nasional, ia mencerminkan bagaimana teknologi dan pengawasan digunakan untuk membentuk perilaku sosial. Bagi sebagian orang, ini adalah langkah menuju masyarakat yang lebih disiplin; bagi yang lain, ini adalah bentuk kontrol sosial yang mengkhawatirkan.

10. Menghormati Lansia Secara Hukum

Di Tiongkok, menghormati orang tua dan merawat lansia bukan sekadar etika sosial, tapi juga kewajiban hukum. Undang-undang Perlindungan Hak Lansia yang disahkan pada 2013 bahkan mewajibkan anak-anak untuk secara rutin mengunjungi dan menjaga orang tua mereka. Jika melanggar, mereka dapat dikenai sanksi administratif atau hukum.

Konsep ini berasal dari nilai Konfusianisme yang menekankan pada “xiào” (孝) atau “bakti kepada orang tua”. Dalam budaya Tiongkok, membalas budi orang tua bukan hanya kewajiban moral, tetapi simbol kehormatan keluarga. Anak yang mengabaikan orang tuanya dianggap mencemarkan nama baik keluarga.

Penerapan hukum ini muncul akibat perubahan sosial dan urbanisasi cepat. Banyak anak muda pindah ke kota besar untuk bekerja, meninggalkan orang tua mereka di kampung halaman tanpa perawatan. Pemerintah merasa perlu campur tangan agar nilai-nilai tradisional tetap terjaga di tengah modernitas.

Hukum ini menjadi salah satu contoh bagaimana Tiongkok berusaha menyeimbangkan antara warisan nilai budaya dan realitas sosial masa kini. Di satu sisi, ini mengingatkan masyarakat akan pentingnya hubungan antar-generasi. Di sisi lain, menimbulkan pertanyaan: apakah kasih sayang bisa dipaksa dengan hukum?

Penutup

Tiongkok bukan hanya tentang Tembok Besar atau teknologi canggih. Di balik kekuatan ekonominya, tersimpan ribuan tahun kebudayaan yang membentuk masyarakat dengan cara yang sangat berbeda. Dari kebiasaan minum air hangat hingga sistem kredit sosial, semua menunjukkan bagaimana nilai-nilai kuno dan modern saling berpadu dalam kehidupan sehari-hari. Jika kamu merasa artikel ini membuka wawasanmu, jangan ragu untuk membagikannya ke teman atau tuliskan pendapatmu di kolom komentar. Dunia terlalu luas untuk hanya dipandang dari satu sudut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *