Di tengah lebatnya hutan tropis Kalimantan Timur, tiba-tiba muncul sebuah pemandangan yang kontras secara mencolok: jalan raya mulus yang mengarah ke istana kepresidenan berhiaskan patung Garuda raksasa. Inilah Ibu Kota Nusantara (IKN), proyek ambisius Indonesia yang dirancang sebagai simbol masa depan utopis. Namun, alih-alih merayakan kemegahan ini, media internasional justru menyoroti potensi risiko yang membayangi proyek tersebut, mempertanyakan apakah Nusantara akan berakhir sebagai “kota hantu” yang kosong dan terlantar.
Kekhawatiran mendalam ini terangkum dalam laporan dari media Inggris, The Guardian, yang dimuat pada akhir Oktober 2025. Artikel tersebut menggambarkan Nusantara sebagai proyek yang “muncul begitu saja di tengah kehampaan,” menyoroti suasana sepi di jalan-jalan utamanya. Meskipun infrastruktur dasar—seperti gedung kementerian, apartemen, rumah sakit, dan bandara—telah dibangun, kehadiran manusia di sana masih sangat minim. Kekosongan ini menjadi simbol kegelisahan yang lebih besar terkait keberlanjutan politik dan finansial proyek raksasa ini.
Mempertanyakan Visi Awal: Dari Jakarta ke Hutan Kalimantan
Keputusan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara bermula dari niat untuk mengatasi masalah kronis di ibu kota lama. Mantan Presiden Joko Widodo kerap menyebutkan tantangan besar yang dihadapi Jakarta, mulai dari polusi udara yang parah, kepadatan penduduk yang ekstrem, hingga ancaman tenggelam akibat penurunan permukaan tanah. IKN diyakini akan menjadi solusi desentralisasi sekaligus model kota yang berkelanjutan dan modern, jauh dari dominasi Pulau Jawa.
Namun, tiga tahun setelah proyek ini diluncurkan, keraguan mulai menguat, terutama setelah transisi pemerintahan. Laporan The Guardian menyoroti bahwa kekhawatiran terbesar datang dari perlambatan drastis dalam aliran dana, yang kini berada di bawah pengawasan ketat pemerintahan baru.
Penurunan Pendanaan dan Pergeseran Prioritas Politik
Salah satu poin kritis yang diangkat oleh laporan asing tersebut adalah anjloknya dukungan finansial negara untuk IKN. Di bawah Presiden Prabowo Subianto, pendanaan negara untuk megaproyek ini dilaporkan menurun lebih dari setengahnya. Sebagai perbandingan, alokasi anggaran pada tahun 2024 mencapai sekitar 2 miliar pound sterling, sementara pada tahun 2025 angka tersebut turun signifikan menjadi 700 juta pound sterling. Bahkan, untuk tahun berikutnya, alokasi yang disetujui pemerintah hanya sekitar 300 juta pound sterling—sepertiga dari jumlah yang semula diminta oleh otoritas proyek.
Selain pendanaan negara yang menyusut, investasi swasta juga gagal mencapai target ambisius yang ditetapkan pemerintah sebelumnya. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana proyek yang sangat bergantung pada partisipasi swasta dapat bertahan dalam jangka panjang.
Di bawah Presiden Prabowo Subianto, pendanaan negara untuk proyek ibu kota baru telah anjlok lebih dari setengah, dari 2 miliar pound sterling pada 2024 menjadi 700 juta pound sterling pada 2025. Investasi swasta juga turun lebih dari 1 miliar pound sterling dari target.
Secara politik, pemerintahan baru juga menunjukkan kehati-hatian yang mencolok. Presiden Prabowo Subianto dilaporkan belum pernah mengunjungi IKN sejak menjabat. Selain itu, status Nusantara diam-diam diturunkan menjadi “ibu kota politik” pada Mei 2025 sebelum diumumkan secara resmi pada September. Bagi pakar hukum tata negara, seperti Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman, perubahan status ini tidak memiliki dampak hukum yang signifikan, tetapi mengirimkan sinyal politik yang jelas.
“Ibu kota baru bukan prioritas bagi Prabowo,” ujar Hamzah. Ia menambahkan bahwa secara politis, ada keengganan untuk membiarkan IKN mati, namun di saat yang sama, juga tidak ada dorongan penuh untuk membuatnya hidup.
Kontras antara Target dan Realitas Penghunian
Target populasi IKN pada tahun 2030 ditetapkan sebanyak 1,2 juta jiwa. Namun, saat ini, angka tersebut masih sangat jauh dari kenyataan. Data terbaru menunjukkan bahwa hanya sekitar 2.000 Aparatur Sipil Negara (ASN) dan 8.000 pekerja konstruksi yang mendiami wilayah tersebut. Meskipun blok-blok apartemen telah berdiri, suasana sepi masih mendominasi, memicu kekhawatiran para pemilik toko dan pekerja yang merasa wilayah itu tidak seramai di masa konstruksi awal.
Menanggapi laporan mengenai perlambatan dan keraguan politik, Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) bersikeras bahwa komitmen tetap kuat. Basuki Hadimuljono, Kepala OIKN, membantah klaim kurangnya kemauan politik. “Pendanaan ada, komitmen politik ada. Mengapa kita harus meragukannya?” katanya. Basuki menjelaskan bahwa laporan mengenai pemotongan anggaran adalah keliru; yang terjadi adalah realokasi pendanaan untuk menyesuaikan dengan prioritas pembangunan.
Dampak Nyata pada Komunitas Adat Balik
Di luar perdebatan politik dan anggaran, pembangunan IKN membawa konsekuensi langsung yang sangat nyata bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan. Komunitas adat Balik, yang berdiam dekat Sungai Sepaku—kurang dari 20 kilometer dari pusat pemerintahan—mengungkapkan dampak buruk infrastruktur terhadap lingkungan dan mata pencaharian mereka.
Arman, seorang petani dan nelayan lokal dari suku Balik, mencatat bahwa banjir di wilayahnya menjadi semakin parah sejak instalasi pengolahan air bersih (IPA) dibangun di Sungai Sepaku. Ironisnya, janji pemerintah untuk menyediakan air bersih bagi komunitas lokal tidak pernah terwujud. “Air itu hanya mengalir ke IKN,” ujarnya.
Puluhan keluarga suku Balik kini tidak lagi dapat mengambil air langsung dari sungai karena telah tercemar akibat aktivitas konstruksi dan keberadaan bendungan baru. Hasil panen mereka pun dilaporkan menurun hingga setengahnya. Kondisi ini menempatkan masyarakat adat pada posisi yang dilematis.
- Kerusakan Lingkungan: Peningkatan frekuensi banjir dan pencemaran Sungai Sepaku.
- Kesenjangan Akses Air: Air bersih dari instalasi baru hanya dialirkan ke IKN, bukan ke komunitas lokal.
- Dilema Eksistensi: Masyarakat adat Balik berharap IKN berhasil agar membawa perhatian pada budaya dan pariwisata mereka, tetapi mereka takut kehilangan segalanya jika pembangunan terus berjalan tanpa melibatkan mereka.
“Kalau proyek ini berhenti, kami kehilangan segalanya, tetapi kalau terus berjalan tanpa melibatkan kami, kami juga kehilangan,” kata seorang perwakilan komunitas Balik, yang menunjukkan bahwa mereka terperangkap di antara harapan kemajuan dan ketakutan akan penggusuran budaya dan lingkungan.
Paradoks Eksperimen Urban di Tengah Hutan
Bagi pengunjung dan wisatawan dari luar, IKN memancarkan citra yang mencolok. Clariza, seorang pengunjung dari Sulawesi, menyampaikan kekagumannya. “Rasanya seperti Singapura. Bersih, modern, seperti sesuatu yang mustahil di tengah hutan,” katanya. Ia juga melihat IKN sebagai peluang untuk menggeser pusat kekayaan dan kekuasaan yang selama ini didominasi oleh Pulau Jawa, memberikan rasa keterpusatan yang lebih adil bagi wilayah timur.
Namun, pujian ini tetap diiringi oleh rasa keanehan. Clariza mengakui: “Tapi juga terasa aneh dan sepi. Belum ada siapa-siapa di sini.”
Inilah inti dari narasi “kota hantu”: membangun tubuh kota yang sempurna dan modern, tetapi gagal menghadirkan jiwa—populasi yang hidup, interaksi sosial yang dinamis, dan denyut ekonomi yang mandiri. IKN Nusantara kini menghadapi tantangan monumental untuk membuktikan bahwa sebuah proyek infrastruktur utopis, yang dibangun dari atas ke bawah, benar-benar dapat menggantikan ibu kota lama yang tumbuh secara organik selama berabad-abad, terutama di tengah tarik-ulur kepentingan politik dan kendala finansial yang terus membayangi.



